Pasokan benur masih dikuasai oleh hatchery-hatchery besar yang menggunakan induk impor.
Sejak keberadaan udang Vanname (Litopenaeus vannamei) dilegalkan pemerintah pada Juli 2001, secara berangsur budidaya udang di Indonesia berubah dari udang windu (Penaeus monodon) ke udang putih asal Amerika Latin itu. Awalnya, Vanname yang menghancurkan perudangan Ekuador dan Taiwan lantaran membawa penyakit Taura Syndrome Virus (TSV) itu, pertama kali masuk Indonesia secara ilegal pada 1999. Induk dan benur udang putih itu didatangkan sebuah perusahaan di Banyuwangi, Jatim, melalui pintu masuk Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali.
Meski bermula dari cerita suram, hingga kini lebih dari 90% budidaya udang di tanah air didominasi oleh Vanname, dan diusahakan secara intensif. Sementara sisanya, udang windu, umumnya hanya dibudidayakan secara tradisional.
Alhasil, para pemain benur pun beralih, yang semula mengupayakan windu menjadi memproduksi benur Vanname. Walaupun tidak ada data akurat, beberapa pengusaha hatchery dan petambak yang sempat ditemui AGRINA memperkirakan, pemasok benur Vanname ada lebih dari 25 perusahaan. Antara lain, Grup Charoen Pokphand (CP Prima, Biru Laut Khatulistiwa/BLK, Central Pertiwi Bahari/CPB, dan Tri Windu Mandiri/TWM), grup Komindo (17 perusahaan dengan sistem kerja sama operasional/KSO), Suri Tani Pemuka (STP), Acay (Maju Tambak Sejahtera), Ayen, Artha Laut Jaya (ALJ), dan Tirta Mutiara Makmur. Dari jumlah itu, berdasar data Balai Besar (BB) Karantina Ikan Soekarno Hatta, Jakarta, hatchery yang mengandalkan induk impor ada 8 perusahaan.
Butuh 45 Miliar
Pemasok benur Vanname bertebaran. Mulai dari Sumut (Medan), Lampung, Banten (Malingping, Anyer), Jatim (Tuban, Situbondo, Banyuwangi), Sulsel (Pare-pare, Makassar), Kalbar (Pontianak, Singkawang), dan NTB (Lombok, Sumbawa). Menurut H. Agus Rahmadi, Manajer Operasional Naupli Center Proyek Udang Nasional, PT Komindo Trading Utama, di Banten, total produksi benur nasional per bulan paling 2 miliar ekor (24 miliar per tahun).
Roni Gunawan menghitung, hatchery utama seperti BLK dan CPB memproduksi benur sekitar 1 miliar ekor, Komindo (melalui 17 KSO) 200—300 juta ekor, TWM 80 juta—100 juta ekor, Ayen 70 juta ekor, Acay 60 juta ekor, STP 30 juta ekor, serta hatchery lainnya sekitar 100 juta ekor per bulan. “Kalau dipaksakan sampai 2,5 miliar per bulan sih bisa saja,” tukasnya. “Kami memang stabil memproduksi 30 juta ekor benur per bulan,” imbuh Roni Gunawan, Manajer Operasional Windu Sagara Hatchery (STP). Bulan depan, lanjut dia, dengan mengoperasikan kembali hatchery Tambak Inti Rakyat (TIR), produksinya bisa 45 juta ekor per bulan. Dan tiga bulan ke depan ditargetkan mencapai 65 juta ekor per bulan.
Perhitungan Iwan Sutanto, Ketua Umum Shrimp Club Indonesia (SCI) pun tidak jauh berbeda dengan Agus Rahmadi. Menurut dia, kebutuhan benur di luar tambak integrasi (CP Prima), tidak kurang dari 13 miliar ekor per tahun. Sementara dari pengakuan Rizal I. Shahab, Corporate Communication Director CP Prima, per bulan pihaknya memproduksi benur 1 miliar ekor. “Dari jumlah itu, sekitar 30% dijual ke pasar bebas,” ungkapnya. Sedangkan kapasitas produksinya mencapai 2,5 miliar ekor per bulan.
Menurut perhitungan Made L. Nurjana, Dirjen Perikanan Budidaya, DKP, dengan produksi udang Vanname yang baru mencapai 300 ribu ton, kebutuhan benihnya memang sekitar 30 miliar. Di sisi lain, tahun ini DKP menargetkan produksi udang Vanname sebanyak 450 ribu ton. Untuk memenuhi target itu, “Dibutuhkan pasokan benur sekitar 45 miliar ekor,” ucap Ketut Sugama, Direktur Perbenihan, Ditjen Budidaya, DKP. “Jujur saja, untuk mengejar target 45 miliar benur itu agak sulit, kalau kita tidak mempunyai induk sendiri,” ucap Roni.
Masih Impor
Untuk memenuhi kebutuhan benur Vanname di dalam negeri, menurut Ketut Sugama, setiap tahun Indonesia mengimpor indukan 200 ribu ekor. Harganya berkisar US$36—US$40 per ekor. Namun yang tercatat di karantina jumlahnya hanya puluhan ribu ekor per tahun.
Sumber induk yang diperbolehkan oleh pemerintah, yaitu dari Amerika Serikat (Florida dan Hawaii). Induk dari Florida diambil dari perusahaan Shrimp Improvement System/SIS (diakuisisi CP Prima pada 2007). Sementara dari Hawaii ada beberapa perusahaan, seperti Ocean Institute, Kona Bay, High Health Aquaculture, dan Molokai Sea Farms International. “Kami tidak sembarangan mengambil benih, harus ada registrasi dari DKP,” papar Roni. Selama ini, STP mengimpor dari High Health Aquaculture.
Namun, Coco Kokarkin, Kepala Balai Budidaya Air Payau Ujung Batee, Banda Aceh, mensinyalir, banyak juga swasta yang mengambil induk udang Vanname dari China secara ilegal. Padahal di China indukan ditangkap dari alam. Hal itu pula yang diduga membawa penyakit virus IMNV alias Mio dan TSV ke perairan Indonesia. “Beberapa pihak mencari jalur murah dan cepat. Sebetulnya itu sabotase ekonomi,” tandasnya. “Siapa saja boleh mengimpor induk, asal sesuai dengan prosedur yang sudah ditetapkan pemerintah,” ucap Ketut.
Di luar dugaan itu, kenyataannya, menurut Rini Widayati, Kepala Bagian Operasional BB Karantina Ikan Soekarno Hatta, sejak 2006 sampai sekarang pihaknya sudah beberapa kali memusnahkan indukan Vanname impor. Walaupun legal dan dari negara pengeskpor sudah dinyatakan specific pathogen free alias SPF, toh masih ada yang membawa virus WSSV, TSV, dan IMNV.
Berebut
Perdagangan benur oleh para pengusaha hatchery tidak melulu untuk memenuhi permintaan petambak sekitar, melainkan lintas wilayah. Di Lampung misalnya, yang notabene menjadi tempat “perang” para hatchery, diperebutkan oleh 7 perusahaan. Yaitu CP Prima, BLK, Ayen, Acay, STP, Benur Alam Anyer (BAA), dan Marikultur Agung Perkasa (MAP).
“Pasar kami, selain Banten dan Indramayu (Jabar), juga dipasok ke Jateng, Yogyakarta, Lampung, Medan, Sulawesi, dan Kalbar,” kata Roni. Sementara Chiang Chi, pemilik hatchery ALJ di Banyuwangi, mengaku, selain menjual kepada para petambak di sekitar Jatim, juga memasok ke Bali, Pontianak, Lampung, dan Medan. “Maret lalu kami mampu menjual 50 juta ekor,” akunya.
Khusus pasar Lampung, menurut Agus, pasar bebasnya sekitar 150 juta ekor benur per bulan. “Yang bisa kami ambil sekitar 20 juta—30 juta ekor, itupun harus berebut,” cetusnya. Masalahnya, imbuh dia, petambak Lampung mempunyai posisi tawar tinggi sebab mereka mempunyai banyak pilihan pemasok. “Kalau hanya mengandalkan nama, belum menjamin berhasil di Lampung. Jika setelah tebar ada masalah, belum tentu petambak kembali mau membeli,” urainya.
Meski demikian, “Suplai dan demand benur saat ini tidak berimbang. Permintaan tinggi, sekitar 40%—50% permintaan tidak mampu kami layani. Semua hatchery sedang fully booked,” aku Roni. Pasalnya, tambah dia, mulai Februari lalu, harga udang konsumsi bagus. Dan harga saat ini di luar prediksi. Menurut Iwan, harga Vanname size 50 sekitar Rp43.000—Rp44.000 per kg.
Harapan dari Situbondo
Dari pengamatan Ketut, pemenuhan benur nasional dipasok 90% dari hatchery yang menggunakan induk impor. Harga benurnya Rp33—Rp35 per ekor. Dari pengalaman Iwan selama bertambak, benur yang berasal dari induk impor itu bebas penyakit (SPF), pertumbuhan bagus, dan secara umum tahan penyakit. Malahan CP Prima mengklaim, produksi benurnya specific pathogen resistance (SPR), yakni tahan terhadap virus dan berbagai penyakit. “Walaupun harganya mahal, sampai saat ini, sekitar 80% petambak masih fanatik menggunakan benur dari indukan impor,” tandas Iwan.
Benarkah benur lokal dinilai belum cukup berkualitas sehingga banyak petambak yang masih enggan memanfaatkannya? Menurut Iwan, baik benur lokal maupun impor dikatakan berkualitas, bila nantinya menghasilkan SR minimal 70%, keseragaman tinggi, FCR 1,5—1,8, dan ADG-nya 0,15—0,2 gr.
Guna menjawab keraguan petambak, sejak 2003 Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo menyiapkan breeding programme untuk membangun broodstock center udang. Hasilnya, medio 2008, balai ini berhasil mencetak induk Vanname unggul melalui teknik domestikasi, seleksi, kawin silang (crossbreeding) dan silang-balik (backcross). Dari hasil uji di sejumlah tambak percobaan diketahui benur produksi BBAP Situbondo ini mampu bersaing dengan benur yang induknya impor.
Dari pantauan SCI di lapangan, benur yang berasal indukan BBAP Situbondo, selain sama-sama SPF juga performanya bagus. “Sekarang tinggal membuktikan, apakah tahan terhadap penyakit atau tidak,” ucap Iwan. Yang jelas, lanjut dia, di Lampung sudah 20% petambak menggunakan benur lokal (induk eks Situbondo). Bahkan, menurut Slamet Subyakto, Kepala BBAP Situbondo, penggunaan benur lokal di Jatim sudah mencapai 80%. “Saat ini terjadi peningkatan kepercayaan terhadap benur lokal. Indikasinya, sekitar 20% petambak SCI telah menggunakannya,” jelas Made L. Nurjana.
Harga benur lokal dijual Rp15—Rp20 per ekor. Sementara indukannya hanya Rp23—Rp25.000 per ekor. “Dengan menggunakan benur lokal, biaya produksi per kg udang bisa dipangkas rata-rata Rp1.500,” jelas Iwan.
“Permintaan induk lokal semakin banyak, sehingga bagi para pengusaha hatchery yang ingin membeli sekarang harus mendaftar dulu,” papar Selamet. Pasalnya, lanjut dia, kapasitas untuk produksi indukan masih terbatas, 10.000—15.000 ekor per bulan. Rencananya, kapasitas itu akan ditingkatkan menjadi 20.000—30.000 ekor per bulan. Dan akhir tahun ini ditargetkan mencapai 60.000 ekor per bulan setelah Multiplication Center instalasi BBAP Situbondo di Desa Gelung berproduksi.
Saat ini sudah ditebar calon induk sebanyak 3,6 juta ekor. Total calon induk yang masih berukuran 2—40 gr tersebut sebanyak 4,5 juta ekor. “Tahun depan persediaan calon induk semakin banyak dengan berproduksinya Multiplication Center di Karangasem Bali, yang rencananya bulan depan mulai beroperasi,” imbuh Selamet.
Tentu saja, melalui sosialisai benur lokal tersebut diharapkan industri udang nasional tidak lagi bergantung pada pasokan induk impor. Dengan menggunakan benur lokal berkualitas, biaya produksi benih yang mencapai 20% dalam budidaya udang, dapat ditekan. Sehingga diharapkan mampu meningkatkan daya saing produk udang di pasar internasional.
Dadang WI, Syatrya Utama, Peni SP, Enny Purbani T., Indah Retno Palupi
|
Sumber : Agrina
0 komentar:
Posting Komentar